Pages

Diberdayakan oleh Blogger.
 

Jumat, 04 November 2016

Contoh Proposal

0 komentar

Metode Pengumpulan Data

0 komentar
Metode Pengumpulan Data

          Data secara Etimologis merupakan bentuk jamak dari DATUM yang berasal dari Bahasa Latin dan berarti "Sesuatu Yang Diberikan". Dalam pengertian sehari-hari DATA dapat berarti Fakta dari suatu objek yang diamati, yang dapat berupa angka-angka maupun kata-kata. Sedangkan jika dipandang dari sisi Statistika, maka DATA merupakan Fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan penarikan kesimpulan. (Siswandari, 2009).
            DATA merupakan Kumpulan fakta yang diperoleh dari suatu pengukuran. Suatu pengambilan keputusan yang baik merupakan hasil dari penarikan kesimpulan yang didasarkan pada Data/Fakta yang akurat. Untuk mendapatkan Data yang akurat diperlukan suatu Alat Ukur atau yang disebut Instrumen yang baik. Alat Ukur atau Instrumen yang baik adalah Alat Ukur/Instrumen yang VALID dan RELIABEL. (Amin, dkk., 2009).
            Selanjutnya, agar DATA dapat dianalisis dan ditafsirkan dengan Baik, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.         Obyektif
Data yang diperoleh dari lapangan/hasil pengukuran, harus ditampilkan dan dilaporkan apa adanya.
2.         Relevan
Dalam mengumpulkan dan menampilkan Data harus sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi atau diteliti.
3.         Up To Date (Sesuai Perkembangan)
Data tidak boleh usang atau ketinggalan jaman, karena itu harus selalu menyesuaikan perkembangan.
4.         Representatif
Data harus diperoleh dari sumber yang tepat dan dapat menggambarkan kondisi senyatanya atau mewakili suatu kelompok tertentu atau populasi.
     Menurut jenisnya, data secara umum dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1.        Data KUANTITATIF
Yaitu Data yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka atau jumlah dan dapat diukur besar kecilnya serta bersifat obyektif sehingga dapat ditafsirkan sama oleh orang lain.
Contoh : harga Buku Rp. 45.000, ; berat badan ; tinggi badan ; suhu tubuh, dsb. 
2.        Data KUALITATIF
Yaitu Data yang berhubungan dengan kategorisasi atau karakteristik dalam bentuk Sifat (Bukan Angka) yang tidak dapat diukur besar kecilnya.

Contoh : Jenis kelamin, Bahasa, Pekerjaan, Pengetahuan, Sikap, dsb.

I.                   Metode Survei Sebagai Pengumpulan Data Primer
Data sangat dibutuhkan untuk melakukan suatu analisis. Sumber data didapat dari instansi lain (dengan wawancara/survey) maupun dari penyebaran kuesioner kepada sekelompok masyarakat untuk mendapatkan data eksternal dan bersifat data primer. Cara ini dilakukan dengan mengikuti kaidah statistika.
Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seorang responden dengan cara bercakap-cakap secara tatap muka (Prabowo, 1996).
Proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara, interview dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit (Patton dalam Poerwandi, 1998)
Pada penilitian dalam wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas serta menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relavan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian interviewer harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam kalimat Tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung (Patton dalam Poerwandi, 1998).
Kekuatan metode wawancara terdiri dari 3 hal (Kerlinger dalam Hasan, 2000):
1.        Mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang diajukan.
2.        Fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu.
3.        Menjadi satu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat teknik lain sudah tidak dapat dilakukan.
Kelemahan dari kekuatan metode wawancara (Yin, 2003):
1.        Rentan terhadap bias yang ditimbulkan oleh konstruksi pertanyaan yang penyusunya kurang baik.
2.        Rentan terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang sesuai.
3.        Probling yang kurang baik menyebabkan hasil penilitian menjadi kurang akurat.
4.        Ada kemungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin didengar oleh interviewer.

II.                Pengamatan Pengumpulan Data Primer
Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung objek (elemen) yang diteliti tanpa mengajukan pertanyaan.
Keuntungan Pengamatan (observasi):
1.        Dapat dicatat hal-hal perilaku,pertumbuhan, respon, terhadap suatu perlakuan tertentu.
2.        Dapat memperoleh data dari objek yang diteliti tanpa melakukan komunikasi verbal.
Kelemahan Pengamatan (observasi):
1.        Memerlukan waktu menunggu yang lama.
2.        Pengamatan terhadap suatu fenomena yang lama tidak dapat dilakukan secara langsung.
3.        Adanya kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin diperoleh datanya melalui pengamatan karena dianggap tabu, sangat rahasia dan lain-lain.
Observasi adalah Pengamatan dan pencatatan  secara sistematis terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala dalam objek penilitian (Nawawi dan Martini, 1991).
Dalam Penilitian observasi dibutuhkan untuk dapat memahami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasinya yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peniliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara.
Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perpektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut (Patton dalam Poerwandi, 1998).
Salah satu hal yang penting, namun sering dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang tidak terjadi. Hasil observasi menjadi data penting (Patton dalam Poerwandi, 1998):
1.    Peniliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal yang akan diteliti atau akan terjadi.
2.    Obsevasi memungkinkan peniliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada pembuktian dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif.
3.    Observasi memungkinkan peniliti melihat hal-hal oleh subjek penilitian sendiri kurang disadari.
4.    Obserasi memungkinkan peniliti memperoleh data tentang hal-hal berbagai sebab yang tidak diungkapkan oleh subjek penilitian secara terbuka dalam wawancara.
5.    Observasi memungkinkan peniliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap penilitian yang dilakukan.
Jenis-jenis Observasi:
1.        Berdasrkan Pengumpulan Data:
a.     Observasi Partisipan ( Partisipant Observation) peniliti terlibat langsung dalam aktivitas yang diamati.
b.   Observasi Non Partisipant (Non Participant Observation) peniliti tidak terlibat dalam aktivitas orang-orang yang sedang diamati dan hanya sebagai pengamat independent.
2.        Berdasarkan Instrumen yang Digunakan:
a.    Observasi Terstruktur adalah observasi yang telah dirancang secara sistematis tentang apa yang diamati dan berdasarkan tempatnya.
b.   Observasi Tidak Terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi.

III.             Contoh Penerapan Metode Survei Sebagai Metode Pengumpulan Data Primer
Survey data pengumpulan data primer dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah survey opini lembaga yang terkait dengan Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Daerah (BKPRD). Tujuan dari metode survey ini pada dasarnya meliputi:
1.        Menjaring, memonitor, mengetahui, dan mengugkapkan gambaran tentang sikap dan aspirasi lembaga atau publik terhadap perkembangan permasalahan dan isu-isu organisasi yang berkaitan dengan masalah penataan ruang di daerah.
2.        Menyalurkan ataupun memilah presepsi, sikap dan harapan responden tentang suatu isu baik mengenai kelembagaan maupun masalah penataan ruang.
3.        Menyebarkan informasi tentang sikapdan aspirasi lembaga atau public tentang isu-isu permasalahan tata ruang dan kelembagaan ke berbagai kalangan masyarakat yang dipandang memiliki peran dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian tata ruang.


Sumber:

Formulasi Masalah Dalam Penilitian

0 komentar
FORMULASI MASALAH DALAM PENILITIAN

I.                   Penemuan Permasalahan
Kegiatan untuk menemukan permasalahan biasanya didukung oleh survai ke perpustakaan untuk menjajagi perkembangan pengetahuan dalam bidang yang akan diteliti, terutama yang diduga mengandung permasalahan. Perlu dimengerti, dalam hal ini, bahwa publikasi berbentuk buku bukanlah informasi yang terbaru karena penerbitan buku merupakan proses yang memakan waktu cukup lama, sehingga buku yang terbit—misalnya hari ini—ditulis sekitar satu atau dua tahun yang lalu. Perkembangan pengetahuan terakhir biasanya dipublikasikan sebagai artikel dalam majalah ilmiah; sehingga suatu (usulan) penelitian sebaiknya banyak mengandung bahasan tentang artikel-artikel (terbaru) dari majalah-majalah (jurnal) ilmiah bidang yang diteliti.
Kegiatan penemuan permasalahan, seperti telah disinggung di atas, didukung oleh survai ke perpustakaan untuk mengenali perkembangan bidang yang diteliti. Pengenalan ini akan menjadi bahan utama deskripsi “latar belakang permasalahan” dalam usulan penelitian. Permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai kesenjangan antara fakta dengan harapan, antara tren perkembangan dengan keinginan pengembangan, antara kenyataan dengan ide.
Identifikasi permasalahan sebagai perwujudan ketiadaan, kelangkaan, ketertinggalan, ketimpangan, kejanggalan, ketertinggalan, ketidakserasian, kemerosotan, dan semacamnya (Strisno Hadi, 1986).
Seorang peneliti yang berpengalaman akan mudah menemukan permasalahan dari

bidang yang ditekuninya; dan seringkali peneliti tersebut menemukan permasalahan secara “naluriah”; tidak dapat menjelaskan bagaimana cara menemukannya. Cara-cara menemukan permasalahan ini, bahwa penemuan permasalahan dapat dilakukan secara formal maupun informal. Cara formal melibatkkan prosedur yang menuruti metodologi tertentu, sedangkan cara informal bersifat subjektif dan tidak “rutin”. Dengan demikian, cara formal lebih baik kualitasnya dibanding cara informal (Buckley dkk, 1976).

            Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan masalah adalah:
1.        Masalah harus dirumuskan dengan jelas dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
2.        Rumusan Masalah hendaknya dapat mengungkapkan hubungan antara dua variabel atau lebih.
3.        Rumusan masalah hendaknya dinyatakan dalam kalimat tanya.
Beberapa kesalahan yang terjadi dalam memilih permasalahan penilitian:
1.        Permasalahan penilitian tidak diambil dari akar masalah yang sesungguhnya.
2.        Permasalahan yang akan dipecahkan tidak sesuai dengan kemampuan peneliti, baik dalam penguasaan teori, waktu, tenaga, dan dana.
3.        Permasalahan yang akan dipecahkan tidak sesuai dengan faktor-faktor pendukung yang ada.
II.                   Cara-cara Formal Penemuan Permasalahan
Cara-cara formal (menurut metodologi penelitian) dalam rangka menemukan permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1.        Rekomendasi suatu riset: Suatu laporan penelitian pada bab terakhir
memuat kesimpulan dan saran. Saran (rekomendasi) umumnya menunjukan kemungkinan penelitian lanjutan atau penelitian lain yang berkaitan dengan kesimpulan yang dihasilkan. Saran ini dapat dikaji sebagai arah untuk menemukan permasalahan.
2.        Analogi adalah suatu cara penemuan permasalahan dengan cara “mengambil”
pengetahuan dari bidang ilmu lain dan menerapkannya ke bidang yang diteliti. Dalam hal ini, dipersyaratkan bahwa kedua bidang tersebut haruslah sesuai dalam tiap hal-hal yang penting. Contoh permasalahan yang ditemukan dengan cara analogi ini, misalnya: “apakah Proses perancangan perangkat lunak komputer dapat diterapkan pada proses perancangan arsitektural” (seperti diketahui perencanaan perusahaan dan perencanaan arsitektural mempunyai kesamaan dalam hal sifat pembuatan keputusannya yang Judgmental).
3.        Renovasi. Cara renovasi dapat dipakai untuk mengganti komponen yang tidak
cocok lagi dari suatu teori. Tujuan cara ini adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kemantapan suatu teori. Misal suatu teori menyatakan “ada korelasi yang signifikan antara arah pengembangan bangunan rumah tipe tertentu dalam perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya” dapat direnovasi menjadi permasalahan “seberapa korelasi antara arah pengembangan bangunan rumah tipe tertentu dalam perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya dengan tingkat pendidikan penghuni yang berbeda”. Dalam contoh diatas, kondisi yang “umum” diganti dengan kondisi tingkat pendidikan yang berbeda.
4.        Dialektik, dalam hal ini, berarti tandingan atau sanggahan. Dengan cara dialektik, peneliti dapat mengusulkan untuk menghasilkan suatu teori yang merupakan tandingan atau sanggahan terhadap teori yang sudah ada.
5.        Ekstrapolasi adalah cara untuk menemukan permasalahan dengan membuat tren
(trend) suatu teori atau tren permasalahan yang dihadapi.
6.  Morfologi adalah suatu cara untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang terkandung dalam suatu permasalahan yang rumit, kompleks.
7.        Dekomposisi merupakan cara penjabaran (pemerincian) suatu pemasalahan ke
dalam komponen-komponennya.
8.        Agregasi merupakan kebalikan dari dekomposisi. Dengan cara agregasi, peneliti
dapat mengambil hasil-hasil peneliti atau teori dari beberapa bidang (beberapa penelitian) dan “mengumpulkannya” untuk membentuk suatu permasalah yang lebih rumit, kompleks.

III.            Cara-cara Informal Penemuan Permasalahan
Cara-cara informal (subyektif) dalam rangka menemukan permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1.        Konjektur (naluriah). Seringkali permasalahan dapat ditemukan secara konjektur (naluriah), tanpa dasar-dasar yang jelas. Bila kemudian, dasar-dasar atau latar belakang permasalahan dapat dijelaskan, maka penelitian dapat diteruskan secara alamiah. Perlu dimengerti bahwa naluri merupakan fakta apresiasi individu terhadap lingkungannya.
2.        Fenomenologi. Banyak permasalahan baru dapat ditemukan berkaitan dengan
fenomena (kejadian, perkembangan) yang dapat diamati. Misal: fenomena pemakaian komputer sebagai alat bantu analisis dapat dikaitkan untuk mencetuskan permasalahan – misal: seperti apakah pola dasar pendayagunaan komputer dalam proses perancangan arsitektural.
3.        Konsensus juga merupakan sumber untuk mencetuskan permasalahan. Misal,
terdapat konsensus bahwa kemiskinan bukan lagi masalah bagi Indonesia, tapi
kualitas lingkungan yang merupakan masalah yang perlu ditanggulangi (misal hal ini merupakan konsensus nasional).
4.        Pengalaman. Tak perlu diragukan lagi, pengalaman merupakan sumber bagi
permasalahan. Pengalaman kegagalan akan mendorong dicetuskannya permasalahan untuk menemukan penyebab kegagalan tersebut. Pengalaman keberhasilan juga akan mendorong studi perumusan sebab-sebab keberhasilan. Umpan balik dari klien misal, akan mendorong penelitian untuk merumuskan komunikasi arsitek dengan klien yang lebih baik.

IV.              Pengecekan Hasil Penemuan Permasalahan
Permasalahan yang telah ditemukan selalu perlu dicek apakah permasalahan
tersebut dapat (patut) untuk diteliti (researchable). Pengecekan ini, biasanya, didasarkan pada tiga hal:
1.        Faedah.
Pengecekan faedah ditelitinya suatu permasalahan dikaitkan dengan pengembangan
ilmu pengetahuan dan atau penerapan pada praktek (pembangunan). Ditanyakan: apakah penelitian atas permasalahan tersebut akan berfaedah untuk ilmu pengetahuan, misal dapat merevisi, memperluas, memperdalam pengetahuan yang ada, atau menciptakan pengetahuan baru. Dicek pula: apakah penelitian tersebut mempunyai aplikasi teoritikal dan atau praktikkal. Suatu penelitian agar dapat diterima oleh pemberi dana atau pemberi nilai perlu mempunyai faedah yang jelas (penjelasan faedah diharapkan bukan hanya bersifat “klise”).
2.        Lingkup.
Peneliti yang belum berpengalaman sering mencetuskan permasalahan yang
berlingkup terlalu luas, yang memerlukan masa penelitian yang sangat lama (di luar jangkauan). Misal: penelitian untuk “menemukan cara terbaik pelaksanaan pembangunan rumah tinggal” akan memerlukan waktu yang “tak terhingga” karena harus membandingkan semua kemungkinan cara pelaksanaan pembangunan rumah tinggal. Lingkup penelitian, biasanya, cukup sempit, tapi diteliti secara mendalam.
3.        Kedalaman.
Faktor kedalaman penelitian juga merupakan salah satu yang perlu dicek.
Penelitian, bukan sekedar mengumpulkan data, menyusunnya dan memprosesnya untuk mendapatkan hasil, tetapi diperlukan pula adanya interpretasi (pembahasan) atas hasil. Penelititan perlu dapat menjawab: apa “arti” semua fakta yang terkumpul. Dengan pengertian ini, suatu pengukuran kemiringan menara pemancar teve belum dianggap mempunyai kedalaman yang cukup (hanya merupakan pengumpulan data dan pelaporan hasil pengukuran). Tetapi, penelitian tentang “pengaruh kemiringan menara pemancar teve terhadap kualitas siaran” merupakan penelitian karena memerlukan interpretasi terhadap persepsi pirsawan atas kualitas siaran yang dipengaruhi oleh kemiringan.


Sumber: