FORMULASI MASALAH DALAM
PENILITIAN
I.
Penemuan
Permasalahan
Kegiatan untuk menemukan permasalahan biasanya
didukung oleh survai ke perpustakaan untuk menjajagi perkembangan pengetahuan
dalam bidang yang akan diteliti, terutama yang diduga mengandung permasalahan.
Perlu dimengerti, dalam hal ini, bahwa publikasi berbentuk buku bukanlah
informasi yang terbaru karena penerbitan buku merupakan proses yang memakan
waktu cukup lama, sehingga buku yang terbit—misalnya hari ini—ditulis sekitar
satu atau dua tahun yang lalu. Perkembangan pengetahuan terakhir biasanya
dipublikasikan sebagai artikel dalam majalah ilmiah; sehingga suatu (usulan) penelitian
sebaiknya banyak mengandung bahasan tentang artikel-artikel (terbaru) dari majalah-majalah
(jurnal) ilmiah bidang yang diteliti.
Kegiatan penemuan permasalahan, seperti telah disinggung
di atas, didukung oleh survai ke perpustakaan untuk mengenali perkembangan
bidang yang diteliti. Pengenalan ini akan menjadi bahan utama deskripsi “latar
belakang permasalahan” dalam usulan penelitian. Permasalahan dapat
diidentifikasikan sebagai kesenjangan antara fakta dengan harapan, antara tren
perkembangan dengan keinginan pengembangan, antara kenyataan dengan ide.
Identifikasi permasalahan sebagai perwujudan ketiadaan,
kelangkaan, ketertinggalan, ketimpangan, kejanggalan, ketertinggalan,
ketidakserasian, kemerosotan, dan semacamnya (Strisno Hadi, 1986).
Seorang peneliti yang berpengalaman akan mudah
menemukan permasalahan dari
bidang
yang ditekuninya; dan seringkali peneliti tersebut menemukan permasalahan
secara “naluriah”; tidak dapat menjelaskan bagaimana cara menemukannya.
Cara-cara menemukan permasalahan ini, bahwa penemuan permasalahan dapat
dilakukan secara formal maupun informal. Cara formal melibatkkan prosedur yang
menuruti metodologi tertentu, sedangkan cara informal bersifat subjektif dan
tidak “rutin”. Dengan demikian, cara formal lebih baik kualitasnya dibanding
cara informal (Buckley dkk, 1976).
Beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam merumuskan masalah adalah:
1.
Masalah harus dirumuskan dengan jelas
dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
2.
Rumusan Masalah hendaknya dapat
mengungkapkan hubungan antara dua variabel atau lebih.
3.
Rumusan masalah hendaknya dinyatakan
dalam kalimat tanya.
Beberapa
kesalahan yang terjadi dalam memilih permasalahan penilitian:
1.
Permasalahan penilitian tidak diambil
dari akar masalah yang sesungguhnya.
2.
Permasalahan yang akan dipecahkan tidak
sesuai dengan kemampuan peneliti, baik dalam penguasaan teori, waktu, tenaga,
dan dana.
3.
Permasalahan yang akan dipecahkan tidak
sesuai dengan faktor-faktor pendukung yang ada.
II.
Cara-cara
Formal Penemuan Permasalahan
Cara-cara formal (menurut metodologi penelitian)
dalam rangka menemukan permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif
berikut ini:
1.
Rekomendasi suatu riset: Suatu
laporan penelitian pada bab terakhir
memuat kesimpulan dan
saran. Saran (rekomendasi) umumnya menunjukan kemungkinan penelitian lanjutan
atau penelitian lain yang berkaitan dengan kesimpulan yang dihasilkan. Saran
ini dapat dikaji sebagai arah untuk menemukan permasalahan.
2.
Analogi adalah
suatu cara penemuan permasalahan dengan cara “mengambil”
pengetahuan dari bidang
ilmu lain dan menerapkannya ke bidang yang diteliti. Dalam hal ini, dipersyaratkan
bahwa kedua bidang tersebut haruslah sesuai dalam tiap hal-hal yang penting.
Contoh permasalahan yang ditemukan dengan cara analogi ini, misalnya: “apakah
Proses perancangan perangkat lunak komputer dapat diterapkan pada proses
perancangan arsitektural” (seperti diketahui perencanaan perusahaan dan
perencanaan arsitektural mempunyai kesamaan dalam hal sifat pembuatan keputusannya
yang Judgmental).
3.
Renovasi. Cara
renovasi dapat dipakai untuk mengganti komponen yang tidak
cocok lagi dari suatu teori. Tujuan cara ini adalah
untuk memperbaiki atau
meningkatkan kemantapan
suatu teori. Misal suatu teori menyatakan “ada korelasi yang signifikan antara
arah pengembangan bangunan rumah tipe tertentu dalam perumahan sub – inti
dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya” dapat direnovasi menjadi
permasalahan “seberapa korelasi antara arah pengembangan bangunan rumah tipe
tertentu dalam perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya
dengan tingkat pendidikan penghuni yang berbeda”. Dalam contoh diatas, kondisi
yang “umum” diganti dengan kondisi tingkat pendidikan yang berbeda.
4.
Dialektik, dalam
hal ini, berarti tandingan atau sanggahan. Dengan cara dialektik, peneliti
dapat mengusulkan untuk menghasilkan suatu teori yang merupakan tandingan atau
sanggahan terhadap teori yang sudah ada.
5.
Ekstrapolasi adalah
cara untuk menemukan permasalahan dengan membuat tren
(trend) suatu
teori atau tren permasalahan yang dihadapi.
6. Morfologi adalah
suatu cara untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang terkandung
dalam suatu permasalahan yang rumit, kompleks.
7.
Dekomposisi merupakan
cara penjabaran (pemerincian) suatu pemasalahan ke
dalam
komponen-komponennya.
8.
Agregasi merupakan
kebalikan dari dekomposisi. Dengan cara agregasi, peneliti
dapat mengambil
hasil-hasil peneliti atau teori dari beberapa bidang (beberapa penelitian) dan
“mengumpulkannya” untuk membentuk suatu permasalah yang lebih rumit, kompleks.
III. Cara-cara
Informal Penemuan Permasalahan
Cara-cara informal (subyektif) dalam rangka
menemukan permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut
ini:
1.
Konjektur (naluriah).
Seringkali permasalahan dapat ditemukan secara konjektur (naluriah), tanpa
dasar-dasar yang jelas. Bila kemudian, dasar-dasar atau latar belakang
permasalahan dapat dijelaskan, maka penelitian dapat diteruskan secara alamiah.
Perlu dimengerti bahwa naluri merupakan fakta apresiasi individu terhadap
lingkungannya.
2.
Fenomenologi. Banyak
permasalahan baru dapat ditemukan berkaitan dengan
fenomena (kejadian,
perkembangan) yang dapat diamati. Misal: fenomena pemakaian komputer sebagai
alat bantu analisis dapat dikaitkan untuk mencetuskan permasalahan – misal:
seperti apakah pola dasar pendayagunaan komputer dalam proses perancangan
arsitektural.
3.
Konsensus juga
merupakan sumber untuk mencetuskan permasalahan. Misal,
terdapat konsensus
bahwa kemiskinan bukan lagi masalah bagi Indonesia, tapi
kualitas lingkungan
yang merupakan masalah yang perlu ditanggulangi (misal hal ini merupakan
konsensus nasional).
4.
Pengalaman. Tak
perlu diragukan lagi, pengalaman merupakan sumber bagi
permasalahan.
Pengalaman kegagalan akan mendorong dicetuskannya permasalahan untuk menemukan
penyebab kegagalan tersebut. Pengalaman keberhasilan juga akan mendorong studi
perumusan sebab-sebab keberhasilan. Umpan balik dari klien misal, akan
mendorong penelitian untuk merumuskan komunikasi arsitek dengan klien yang lebih
baik.
IV. Pengecekan Hasil Penemuan
Permasalahan
Permasalahan yang telah ditemukan selalu perlu dicek
apakah permasalahan
tersebut
dapat (patut) untuk diteliti (researchable). Pengecekan ini, biasanya,
didasarkan pada tiga hal:
1.
Faedah.
Pengecekan
faedah ditelitinya suatu
permasalahan dikaitkan dengan pengembangan
ilmu
pengetahuan dan atau penerapan pada praktek (pembangunan). Ditanyakan: apakah
penelitian atas permasalahan tersebut akan berfaedah untuk ilmu pengetahuan,
misal dapat merevisi, memperluas, memperdalam pengetahuan yang ada, atau
menciptakan pengetahuan baru. Dicek pula: apakah penelitian tersebut mempunyai
aplikasi teoritikal dan atau praktikkal. Suatu penelitian agar dapat diterima
oleh pemberi dana atau pemberi nilai perlu mempunyai faedah yang jelas (penjelasan
faedah diharapkan bukan hanya bersifat “klise”).
2.
Lingkup.
Peneliti
yang belum berpengalaman sering mencetuskan permasalahan yang
berlingkup terlalu luas,
yang memerlukan masa penelitian yang sangat lama (di luar jangkauan). Misal:
penelitian untuk “menemukan cara terbaik pelaksanaan pembangunan rumah tinggal”
akan memerlukan waktu yang “tak terhingga” karena harus membandingkan semua
kemungkinan cara pelaksanaan pembangunan rumah tinggal. Lingkup penelitian,
biasanya, cukup sempit, tapi diteliti secara mendalam.
3.
Kedalaman.
Faktor
kedalaman penelitian juga
merupakan salah satu yang perlu dicek.
Penelitian, bukan
sekedar mengumpulkan data, menyusunnya dan memprosesnya untuk mendapatkan
hasil, tetapi diperlukan pula adanya interpretasi (pembahasan) atas hasil.
Penelititan perlu dapat menjawab: apa “arti” semua fakta yang terkumpul. Dengan
pengertian ini, suatu pengukuran kemiringan menara pemancar teve belum dianggap
mempunyai kedalaman yang cukup (hanya merupakan pengumpulan data dan pelaporan
hasil pengukuran). Tetapi, penelitian tentang “pengaruh kemiringan menara
pemancar teve terhadap kualitas siaran” merupakan penelitian karena memerlukan
interpretasi terhadap persepsi pirsawan atas kualitas siaran yang dipengaruhi
oleh kemiringan.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar